MENYOAL SITUASI KEHIDUPAN AGAMA SAAT INI (Oleh; Muhammad Arif Yunus)
“secara prinsip manusia bebas, tetapi dalam kenyataan ia tidak mampu menikmati kebebasan tersebut”
Zygmunt Bauman Dalam Posmodernity and its Discontents (1997), Menggambarkan perubahan sosial dan budaya dari modern ke post modern. Ia menggambarkan modernitas sebagai realitas masyarakat yang luas, rapi, indah, dan bersih. Hal ini terlihat pada realisasi kota-kota Eropa modern, tata letak jalan dan tata letak gedung, perkantoran, hunian, apartemen dan pusat perbelanjaan. Kehidupan sosial yang terorganisir termasuk dokumen resmi dan KTP, kartu kredit, keanggotaan organisasi, dll.; Urusan publik dikendalikan oleh mesin dan automata, yang bergerak dan beroperasi secara tertib dan terkendali.
Sebenarnya sejak awal masyarakat telah memelihara ketertiban yang mana ketertiban merupakan bagian dan ciri kehidupan manusia. hal ini sesui dengan apa yang diajarkan oleh Agama kuno yang merupakan model kehidupan sosial yang tertib. Mengutip Mary Douglas, Bauman mengatakan bahwa “keteraturan merupakan ukuran kesucian yang menjamin keamanan, Ketidakteraturan sebaliknya akan mendatangkan ulah dan bahaya.”
Terorganisir/teratur artinya segala sesuatu menempati posisi yang telah ditentukan, sedangkan kekacauan adalah penempatan benda, dan tentunya juga termasuk perilaku yang tidak sesuai dengan posisi yang semestinya.
Di zaman modern, tatanan ini dirasionalkan oleh birokrasi, penggunaan teknologi yang efektif dan efisien di segala bidang, dan ketertiban hukum dengan segala sanksi dan konsekuensinya.
Berbeda dengan masyarakat primitif, masyarakat primitif memiliki pemahaman yang tabu, dalam hal ini kejahatan secara alamiah jika terjadi akan membawa wabah dan hukuman, baik untuk manusia perorangan yang melanggar aturan bahkan masyarakat secara umum, maka dalam masyarakat modern, pelanggaran aturan akan dihukum.
Meski terkadang masih ada unsur mitologis dan religius memasuki proses pengadilan modern, khususnya di negara-negara terbelakang, tetap saja prinsip rasionalitas semakin dapat diterapkan. Oleh karena itu, masyarakat modern cenderung menjaga persatuannya secara tegas, tertib dan teratur.
Kenyataan yang keras teratur ini oleh Bauman disebut sebagai “modernitas solid”. Dalam modernitas solid kesatuan atas dasar pelaksanaan hukum dengan ketat dijalankan. Kekuasaan politis yang dipegang oleh para pendeta atau pemuka agama di masa lalu telah digantikan oleh para profesional yang memiliki pengetahuan profesional tertentu di bidangnya masing-masing.
Kaum profesional di berbagai bidang menjadi penguasa baru yang memegang otoritas untuk menentukan standar, norma, kebenaran dalam menjaga dan menjamin keteraturan itu. Dengan demikian, dalam kadar sedikit atau banyak, modernitas solid mempunyai nuansa sekuler, tidak dalam arti menolak agama, melainkan mendasarkan argumentasi keteraturannya semata-mata pada rasionalitas pemikiran dunia.
Namun, kemodernan menurut Bowman, juga punya karakter lain, yaitu mengarah ke postmodernisme. Hal demikian memang benar bahwa modernitas menekankan tatanan kehidupan yang rapi tertib, tapi dibalik kerapian dan ketertiban, fakta membuktikan bahwa modernitas juga memberikan kemajuan bagi umat manusia mempromosikan gerakan cepat dan semangat kompetitif kuat.
Dalam perspektif ini, maka masyarakat modern adalah masyarakat yang cair, bergerak cepat, mudah berubah, sebagaimana tercermin dalam gerak lalu lintas, transportasi dan komoditas barang, setiap bidang mengupayakan kemajuan dirinya untuk mencapai optimasi tujuan. Dari segi ini, Bauman menyebutnya “modernitas cair” (liquid modernity), yang mengalir seperti air (Liquid Modernity, 2000). Namun Bauman juga menengarai bahwa dalam modernitas cair ini, kebebasan setiap orang mengalami tabrakan dengan kebebasan orang lain.
Dalam kehidupan modern, kebebasan dalam hidup semakin diraskan. Orientasi dan kesadaran eksistensial umat manusia menjamin kebebasan arah dan tujuan hidup pribadi, tetapi di sisi lain, kebebasan ini tidak dapat dinikmati sepenuhnya.
Banyak restriksi modern yang membuat kebebasan justru menjadi prinsip yang mandul, artinya secara prinsip manusia bebas, tetapi dalam kenyataan ia tidak mampu menikmati kebebasan tersebut. Kontradiksi kebebasan itu membuat hidup terasa tidak nyaman, seperti mandi di dalam air, Anda akan merasakan airnya tidak jernih, tapi lanyau Atau likat. (Posmodernity and Its Discontents, Politiy Press, 1997: 27).
Yang menjadi pertanyaan besar ialah, bagaimanakah kehidupan Agama dalam situasi seperti ini?. Secara umum, cita-cita agama yang mengubah kondisi sosial telah terbalik karena kondisi sosial yang dialami perkembangannya sangat cepat sehingga mempengaruhi manifestasi agama.
Agama yang tidak menginginkan perubahan akan memunculkan ketegangan terus berlanjut dengan situasi sosial modernitas dan posmodernitas yang aktual. Tetapi apakah agama yang berubah karena menyesuaikan zaman akan kehilangan esensinya?. Bukankah inti dari agama adalah pertahankan tradisi yang tetap?.
Ada kepentingan yang sangat penting dari teologi agama untuk mengartikulasikan kedudukan agama di zaman yang berubah ini, dan memberi dasar untuk transformasi agama.
Seperti sudah diuraikan di atas, tampaknya kehidupan beragama pada era modern mengalami krisis yang berujung pada dua orientasi berbeda.
Yang pertama, mengantarkan pada ateisme dan agnostik, di mana orang-orang terutama generasi muda meninggalkan kehidupan agama tradisional dan menjadi acuh tak acuh terhadap agama, sebagaimana terjadi saat ini.
Yang kedua, mengantarkan pada ateisme praktis, di mana orang meski mengaku masih beragama, atau justru dengan alasan agama melakukan tindakan-tindakan protes dengan cara-cara keras yang menghancurkan masyarakat, sebagaimana tampak dalam fenomena terorisme.
Keduanya, tampak meninggalkan esensi agama. Lantas, masih adakah pemahaman agama dalam arti autentik, di mana para pemeluk menjalankannya dengan setia dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat?. Wallahu a’lam
No. Hp penulis:085395021841